Sedikit yang saya tahu justru membuat saya akan lebih penasaran akan suatu tempat atau kultur suatu daerah. Entah karena memang masih banyak yang tersembunyi atau memang akan selalu seperti ini ketika datang ke kota ini. Iya Jogjakarta selalu punya sisi tersendiri buat saya meskipun berulang kali saya bertandang kemari.
Kali ini saya mencoba melipir ke tepiannya, Cuma beberapa menit saja dari pusat kota. Adalah salah satu akar dari kebudayaan Jogjakarta yang menjadi wadah dari beberapa asal muasal rumah joglo.
Kotagede merupakan suatu agenda buat saya lebih mengenal Jogjakarta. Di Kotagede saya menemukan banyak cerita tentang masa lampau, tempat yang dahulunya merupakan ibukota kesultanan Mataram. Tempat yang dibangun dengan sentuhan banyak ornamen khas Mataram Jawa.
Sudut Indah di Kotagede, Sisa Kemegahan Mataram Dahulu Kala
Saya meneruskan perbincangan saya dengan bapak abdi dalem penjaga komplek makam di area pemakaman Panembahan Senopati. Mengamati sekeliling bangunan masjid Agung yang berdiri kokoh tepat dibagian depan area makam. Bangunan komplek pemakaman ini menyatu dengan masjid Kotagede yang merupakan peninggalan dari raja pertama mataram sang Panembahan Senopati.
Rindang pepohonan membuat saya merasa nyaman berada di pelataran masjid. Nampak beberapa pengunjung makam mengenakan lurik jawa dengan blangkon menutup kepala menegaskan nuansa khas mataram jawa pada masanya.
Bangunan komplek ini masih terpengaruh akan kebudayaan Hindu terlihat dari gapura masuk dan beberapa ornamen lain yang menurut saya masih berbau abad ke-18. Beberapa sudut mengingatkan akan kemasyuran kerajaan Hindu sebelum masuknya kerajaan Islam di tanah Mataram, Jogja.
Kampung Purbayan – Perkampungan Jawa Kuno di Kotagede
Saya berpindah menelusuri lorong yang tak jauh dari area pemakaman, persis di depan gapura terlihat barisan rumah Joglo. Bentukan yang menurut saya klasik dan tata ruang depannya yang terlihat adem. Rumah bagi beberapa keluarga yang turun temurun mempertahankan kekhasan bangunan rumah Joglo. Sedikit menilik sejarah yang saya tahu bahwa lorong yang saya sambangi merupakan bagian dari kampung Purbayan.
Sebuah kawasan yang sudah ada sejak tahun 1840 an dan sampai sekarang masih terawat. Kampung purbayan itu sendiri adalah perkampungan jawa kuno yang merupakan cikal bakal adanya rumah bergaya joglo di jogjakarta. Betul memang kalau kampung purbayan terletak di jantungnya Kotagede.
The feeling when you really being at home. Buat saya bisa sesederhana itu merasakan aura rumah dan lingkungan yang akan sangat nyaman berada di sekitarnya.
Yang saya suka dari menjelajah tempat-tempat bernuansa history adalah bahwa saya seolah diajak berfantasi ke masa dimana sejarah itu ada. Seperti membayangkan pada masanya, alur waktu berjalan, orang-orang yang hidup di masa itu (oke, kok agak serem untuk bagian yang ini ya..).
Saya melanjutkan bergerilya menelusuri lorong-lorong di sekitar kampung purbayan sambil mengamati beberapa detil ornamen yang disuguhkan pada bagian depan masing-masing rumah di beberapa sudut kampung purbayan. Sedikit penggambaran saya kalau ada beberapa detail yang saya tangkap dari rumah joglo ini.
Baca juga: Random Trip di Bali Seorang Diri
Dari tampak luar, di setiap daun pintu terdiri dari 2 yang ukuranya simetris lalu dipercantik dengan posisinya yang di tengah. Lalu masuk ke dalam di ruang tamu terdapat empat buah tiang penyangga yang posisinya bersejajar membentuk persegi di bagian tengah. Dan yang paling utama adalah seakan rumah joglo sudah paten harus menghadap ke utara atau ke arah selatan.
Saya seperti terhipnotis ke masa dahulu saat melihat beberapa ornamen yang dipajang melengkapi rumah joglo tersebut. Sekumpulan meja kursi yang terlihat vintage, bahkan sepotong papan nama yang terletak diatas pintu menjadikannya tetap orisinil pada jamannya.
Area Pasar Legi & Rumah Pesik di Kotagede
Tepat sebelum kawasan kampung purbayan di bagian muka terbentang area pasar yakni pasar Legi. Hiruk pikuk roda perekonomian Kotagede seolah berpusat di sini. Sedikit semerawut memang mengingat terdapat persimpangan tepat berada di depan pasar legi ini. Saya melanjutkan berjalan kaki ke arah selatan tepatnya di sebelah kiri dari posisi pasar legi ke arah Rumah hinggil.
Kurang lebih seratus meter tak jauh dari posisi persimpangan saya menemukan lorong dengan kemegahan bangunan di dalamnya. Namanya rumah Pesik, atas kepemilikan seorang bernama Rudy Pesik. Yang menarik dari rumah Pesik adalah banyak kesan saat saya mengamati sisi luar bangunan rumah pesik tersebut.
Terlihat relung-relung relief patung di dindingnya serta pilar-pilar yang menonjolkan ornamen detil. Dari beberapa sumber rumah pesik ini sempat mengalami beberapa pindah kepemilikan salah satunya oleh pasangan Indonesia-Amerika, dan beberapa perombakan tentunya sehingga terlihat seperti bangunan yang sekarang ada.
Warna hijau terang mendominasi seoalah menegaskan garis perspektif yang timbul pada bagian luar rumah pesik tersebut. Ukiran di gapura utama pintu masuk nampak terlihat sangat detil, sayang saya tak bisa masuk untuk melihat bagian dalam rumah Pesik tersebut.
Saya duduk untuk sekedar meneduh dari terik matahari siang itu, tepat di depan bangunan rumah pesik sebuah warung sederhana dengan minuman segarnya yang kemudian membasahi tenggorokanku. Sambil mengamati orang yang berlalu-lalang dengan sepeda gowesnya saya beberapa kali dilempari senyuman yang memang hangat dari beberapa warga sekitar yang memang melewati lorong tersebut.
‘sampun ningali langgar dhuwur mas?’
Ibu penjual warung mencoba memberi tahu tentang bangunan yang memang unik buat saya dari namanya. Langgar dhuwur berada sederet dengan bangunan rumah pesik yang merupakan sebuah bangunan tempat ibadah Langgar atau Musholah yang posisinya di lantai 2 sedangkan lantai bawahnya digunakan sebagai rumah tinggal. Terlihat bagian tempat sang imam yang posisinya agak menjorok keluar dari bangunan tersebut.
Melanjutkan penelusuran saya kembali dan memang saya sengaja random melangkahkan kaki. Sedikit bercengkerama dengan warga sekitar lorong lalu pada akhirnya meninggalkan lorong menuju jalan raya. Lalu lalang kendaraan di tengah terik matahari siang yang turun menuju sore membuat saya mempercepat laju kaki. Kadang sesekali saya mencoba mengambil gambar jalanan sekitar dengan keramaiannya.
Sudut Indah Kotagede yang Mengagumkan
Kotagede dengan segala lorong-lorong penuh bangunan klasik dan sudut-sudut yang memanjakan mata. Kotagede yang bukan Cuma kerajinan perak yang memang menjadi primadonanya. Datanglah saat pagi hari, kita bisa lebih detil untuk mengeksplorasi kawasan sudut indah Kotagede selain bisa melihat masyarakat setempat beraktifitas. Spot –spot menarik yang musti kita lihat dengan tetap memperhatikan adat setempat atau unggah-ungguh.
Membayangkan Kotagede pada masanya seolah melengkapi rasa kagum saya dengan Jogjakarta. Mengulang kembali ke Jogja yang tiada habis rindunya, tiada habis rasa ingin berjumpa.
Karena rumah bukan soal tempat tapi mungkin lebih rasa yang menggema ketika jiwa ini merasa nyaman. Senyum-senyum hangat dari wajah di tiap sudut Jogja, melengkapi perjalanan saya yang ingin terus saya ulangi kembali. Memang hal sederhana itulah yang membuat Jogja Istimewa buat saya.
Sampai jumpa kembali Jogjakarta.
Aku nggak pernah bosan selalu ke Jogja, masih banyak tempat yang belum dikunjungi. Salah satunya, Kotagede ini. Jadi inget cincin waktu lamaran, suami kasih cincin perak khas Kotagede, lalu aku lupa di mana cincin itu sekarang *tepok jidat hehehe …
Kampung Purbayan ya, oke noted! Pengin main ke sana, dari foto-foto bikin jatuh hati.
Wah sayang sekali mbak cincinnya hilang. itu cincin kawinkah?
Makasih ya mbak Ranny sudah mampir.
Direktori Pariwisata Indonesia Berbasis Komunitas