Pagi hari tepat pukul 05.00 waktu Nepal saya sudah bersiap untuk bangun, niatnya sih untuk cari nasi uduk atau paling nggak ya lontong sayur atau bubur ayam. Hahaha… nggak ya, saya niatan bangun pagi-pagi sekali memang untuk keliling lihat Thamel di pagi hari sambil manasin kamera yang sedari kemarin kedinginan dalam tas. Matahari masih belum nampak, saya berjalan beberapa blok dari penginapan sambil menahan dingin udara pagi. Pagi ini saya ditemani pria-pria nusantara yakni Dipa, Hendri, Yudhi dan pak Roy yang datang menyusul kami.
Nepal selepas musim dingin masih lumayan berdebu saat pagi, tentu saja akan semakin menebal ketika di musim panas nanti. Jalan-jalan pagi berkeliling gang-gang di area Thamel lumayan mengasyikan buat saya. Bangunan-bangunan tua, orang lalu lalang untuk memulai aktifitas di pagi hari serta terlihat beberapa penjual masala tea dengan sepeda tua nya. Ya, begini suasana pagi yang saya anggap sebagai penyambutan di hari kedua kami di Nepal.
Kiranya cukup kami berkeliling pagi itu, matahari sudah mulai naik dan kami pun segera menuju ke penginapan untuk menyantap sarapan. Hari ini kami berencana untuk melanjutkan berkeliling ke kawasan wisata di Kathmandu sekaligus mungkin melengkapi keperluan alat-alat untuk trekking lusa nanti. Boudhanath Buddha Stupa menjadi tujuan yang kami kunjungi, random saja selain pilihan lain Patan Durbar square yang merupakan komplek bangunan istana.
Menilik Buddha Stupa di Kathmandu
Dari Thamel kami memakai taksi Nepal yang bisa membawa maksimal 4 orang dalam sekali jalan. Ukuran taksi di sana hampir semuanya sama jadi terlihat seragam dan memang dengan ukurannya memungkinkan masuk ke jalan-jalan kecil di Kathmandu.
Menilik soal lalu lintas di sana yang mana tidak adanya lampu pengatur lalu lintas, namun digantikan oleh petugas yang selalu stand by di setiap pertigaan dan perempatan mengatur pergantian arus lalu lalang kendaraan. Warga di sana masih tertib untuk diatur sepertinya, macet di beberapa titik karena memang arus kendaraan yang padat.
Mendampingi sang tuan memulai aktifitasnya di pagi hari
Menjelang sore aktifitas terlihat ramai di salah satu gang di Thamell Hunting di pagi hari saat Matahari baru muncul
Sekitar 20 menit berlalu dan kami pun tiba di kawasan Budha stupa Boudhanath yang letaknya masih di dalam kota Kathmandu.
Tiket masuk untuk turis asing sekitar 400NPR dengan durasi sepuasnya.
Saya mencoba mengelilingi budha stupa sambil mengamati banyak orang yang sembahyang dan berjalan keliling Buddha stupa.
Boudhanath sendiri merupakan stupa umat Buddha terbesar di Nepal serta sekaligus juga menjadi kuil suci umat Budha dari Tibet yang berada diluar Tibet. Dalam fungsinya sebagai pusat kebudayaan Tibet di jantung Kathmandu membuat Boudhanath sangat tersohor dan memang mayoritas penduduk Nepal beragama Buddha dan Hindu. Untuk pusat kuil Hindu dan tertua adalah Pasupatinath yang letaknya di aliran sungai Bagmati masih di jantung kota Kathmandu, akan saya ceritakan nanti.
Ama penjual souvenir mengamati orang yang berlalu-lalang
Boudhanath Stupa
Butuh hampir 7 (tujuh) tahun untuk menyelesaikan pembangunan stupa terbesar di Nepal tersebut, beberapa sumber menyebutkan awal pembuatan Buddha stupa tersebut di abad ke 5 M. Adapula sumber yang menyebutkan awal pembangunan sekitar abad ke 14 M, dan sejak tahun 1979 sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh UNESCO.
Sebuah monumen meditasi terbesar yang diciptakan setelah wafatnya sang Buddha.
Banyaknya pengunjung yang datang terlihat beberapa memang untuk melakukan persembahan dengan bersembahyang atau hanya untuk melihat-lihat salah satu situs Buddha terbesar di dunia. Di beberapa sudut pintu masuk terpasang deretan prayer wheels dari ukuran kecil hingga ke ukuran paling besar setara pintu. Lonceng pun tergantung sederet dengan jalan masuk ke area stupa utama.
Saya pelan-pelan mengikuti alur masuk ke bangunan utama, menggerakan serangkaian prayer wheels serta membunyikan lonceng di dekatnya. Meniti tangga naik perlahan sambil mengamati hamparan prayer flags yang membentang dari atas stupa.
Prayer flags melintang ke ujung Budha stupa di Boudhanath stupa, Nepal Bread di kerumunan burring merpati di Boudhanath stupa, Kathmandu
Tentang Prayer Flag di Boudhanath Stupa
Prayer flag adalah sebuah media do’a atau mantra yang ditulis dalam bendera warna warni lalu di ikat melintang di area pemujaan. Di biarkannya dia tertiup angin karena diyakini bahwa mereka membawa mantra dan do’a ke surga.
Pada dasarnya ada 5 (lima) warna dalam prayer flag yang mewakili lima element yang ada di semesta yakni putih atau udara yang bermakna tentang kesucian, hijau atau air yang bermakna kedamaian, kuning atau bumi yang bermakna kecantikan atau keindahan, biru atau langit yang bermakna pengetahuan, pencerahan serta merah atau api yang maknanya tentang cinta kasih.
Di bagian stupa terdapat pula piramida 4 (empat) sisi dengan lukisan 2 (dua) mata. Sepasang mata raksasa yang memandang keluar dari 4 (empat) sisi Menara utama tersebut disimbolkan sebagai mata Buddha yang memandang ke segala arah. Yang terakhir adalah bagian paling atas stupa berupa pinnacle yang terlihat seperti puncak gunung, disimbolkan sebagai Gunung Sumeru atau gunung di atas semua gunung atau rumah dari para dewa.
Prayer wheels di Boudhanath Stupa temple diletakkan di dekat pintu masuk Bermain dengan merpati di halaman Boudhanath stupa temple
Sekilas penjabaran saya mengenai bangunan stupa Boudhanath yang saya coba gali dari berbagai sumber yang ada.
Selesai berkeliling dan haripun kian sore kami bersiap untuk kembali ke penginapan. Lalu lintas hari Minggu saat itu lumayan padat mengingat hari libur di sana bukan di hari mMgu melainkan hari Sabtu. Sore hari menjadi makin banyak titik macet karena banyak dari warga setempat yang memang pulang dari beraktifitas kerja.
Perjalanan Menuju Pokhara, Kota Bersanding Danau
Senin pagi hari pukul 04.00, udara masih dingin dan saya bangun untuk panggilan hajat pagi. Pagi ini kami akan menuju ke Pokhara dengan naik bus dari Kathmandu. Perjalanan kurang lebih 6-7 jam dari Kathmandu, dan pukul 07.00 pagi kami sudah harus stand by di halte tempat bus menjemput kami.
Kontur jalan yang lumayan berliku melintasi pegunungan, beberapa wilayah padat penduduk seperti pasar serta perkampungan. Perjalanan dengan bus kali ini ternyata buat beberapa turis adalah pengalaman yang mendebarkan. Memang ketika saya bandingkan dengan kondisi jalan yang mirip-mirip laluannya seperti Jalur Ende ke Maumere atau bisa jadi seperti Jalur Palopo menuju Tana Toraja yang lumayan tajam tikungan sembari menanjak serta kabut yang menghadang sepanjang jalan hal ini menjadi lumrah atau bahkan lebih mendebarkan.
Pernah suatu waktu saya dan rekan kerja saya menempuh jalur dari Palopo ke Tana Toraja, kami berangkat pagi dengan maksud agar tidak terhadang dengan kabut di jalan. Di tengah perjalanan tiba-tiba teman saya minta berhenti dan turun dari mobil, ternyata dia sudah gak tahan mau jackpot.
Sambil menunjukan mukanya yang memerah padam dia bilang kalau perutnya kosong jadi gak kuat tergoncang-goncang kelokan. Ditambah beberapa kali pak supir kami yang mendadak menarik tuas rem karena kondisi belokan yang tak terlihat karena kabut yang turun. Bersyukur beberapa kali lewat kami masih selamat.
Saya melanjutkan tidur di bus tak lama kemudian dibangunkan untuk makan siang sembari beristirahat di rumah makan. Menu all you can eat serupa dal bhat dengan membayarkan sekitar 450NPR lumayan mengisi perut kami yang digoncang sedari pagi tadi. Beberapa dari kami mengeluarkan bekal lauk makan berupa rendang, teri kering, kentang pedas untuk melengkapi rasa nusantara kami.
Rooftop view kota Pokhara dan Phewa Lake
Gugusan pegunungan di range Annapurna terlihat dari Pokhara Phewa Lake dan cara menikmatinya tengan sampan Untuk berkeliling
Hampir pukul 4 sore dan bus kami merapat ke dekat penginapan, sore itu Pokhara terlihat sangat tenang. Lokasinya yang dekat dengan Danau Phewa membuat kami hanya berjalan kaki untuk menuju ke daerah pusat turis di Phokara.
Ya sore itu kami lanjutkan dengan berkeliling kota Phokara. Sempat untuk menilik area rooftop penginapan untuk melihat matahari terbenam dengan jajaran pegunungan bersalju. Hamparan Danau Phewa dan Bukit Sarangkot yang mempesona membuat lansekap Pokhara layaknya lukisan paling indah.
Semua Baru Saja Dimulai!
Kita seharusnya tidak melewatkan kesempatan untuk merasakan dan menyaksikan keindahan alam yang memikat ini, pengalaman luar biasa ini bisa jadi baru awal untuk menuju hal-hal luar biasa yang akan kita alami nanti. Sepertinya dalam beberapa hari ke depan memulai dengan mengorbankan betapa berharganya waktu pagi hari kita untuk sekedar menyaksikan titik-titik tertinggi jajaran pegunungan Himalaya. Terbentang dari ujung ke ujung dimulai dari Bukit Sarangkot, Annapurna Range, Dhaulagiri Range, Manaslu Range serta jalur pegunungan lain di Himalaya.
Malam itu kami beristirahat lebih awal untuk esok pagi melihat jajaran pucuk-pucuk pegunungan Himalaya sebelum memulai trekking hari pertama kami menuju ke Annapurna Basecamp.
Membaca ini terasa kembali ke suasana yang selalu mengajak untuk kembali kesana. Nepal.. Kathmandu.. Pokhara… Annapurna…. tunggu saya kembali.
Semoga bisa secepatnya balik kesana yaaa.. siapin fisik buat tahan dingin dan sajian khas dalbhat yang menggugah selera
terima kasih informasinya
Visit Us
sama-sama, terimakasih sudah singgah
Thanks for article~
Visit Website Us :
ITTELKOM JAKARTA
Nice artikel
Semoga perjalanan senja update & post artikel lagi, semangat….
DiAtasAwan