Sebuah pendakian adalah suatu pencapaian jati diri. Menaklukan puncak adalah menaklukan diri kita sendiri. Seperti itu pemikiran saya akan suatu pendakian. Merasa bahwa kita adalah makhluk yang kerdil di jagat raya yang begitu luas ini. Hahahaha… kerap kali saya hanya bisa diam dan kagum ketika berada di atap-atap dunia (ini lebay ya .. heheehe).
Baca Juga: Menuju Puncak Gunung Api Purba
Pendakian kali ini yang saya lakukan mungkin tergolong yang tidak terlalu tinggi. Tapi pesona Gunung Batur Bali ini tidak dapat dilawan.
Ya seperti kita tahu bahwa Gunung Batur di Pulau Dewata ini adalah salah satu dari wisata Geopark di mana terdapat warisan geologi yang luar biasa indahnya.
Sekilas Tentang Pesona Gunung Batur Bali
Gunung Batur merupakan salah satu gunung yang berapi masih aktif. Tapi jangan khawatir ketika akan mendaki kesana karena tergolong yang aman. Gunung yang pernah meletus di tahun 1917 ini memang bisa kita tempuh dalam hitungan jam saja. Karena puncaknya berada pada ketinggian 1717 mdpl maka waktu tempuhnyapun tergolong lumayan singkat. (Sumber: Wiki)
Kaldera yang ada di Gunung Batur bisa jadi salah satu yang terluas. Ditambah dengan pemandangan disisi timur yaitu hamparan Danau Batur yang tak kalah indah kita seolah berdiri diantara gugusan awan yang mengelilingi kawasan atap Geopark Batur – Kintamani.
Dari atas akan nampak jajaran gunung Agung yang menjulang serta pucuk-pucuk atap Gunung Rinjani yang mengintip dari gugusan awan nan jauh di timur.
Kenapa Mendaki Gunung Batur?
Jadi kenapa saya mendaki gunung Batur? Balik lagi bahwa saya tidak punya preference khusus akan suatu destinasi pendakian. Mungkin lebih ke rasa penasaran akan gunung yang berada satu wilayah dengan Danau Batur di Kintamani ini. Dengan kontur alam yang buat saya sangat menawan dan waktu tempuh yang relatif lebih singkat.
Gunung Batur menghadirkan banyak spot yang menarik buat kita sekedar escape. Jarak tempuh normal sekitar 2-3 jam dari basecamp awal pendakian di Batur. Dan lagi–lagi soal keterbatasan waktu serta kondisi cuaca yang saat itu sedang musim hujan jadi saya lebih memilih yang aksesnya mudah.
Kondisi yang relatif mudah tidak serta merta membuat kita mengabaikan efek keselamatan dalam pendakian. Bedanya mungkin kita lebih simple dalam segi alat, tak perlu tenda atau sleeping bag karena memang cukup tek-tok saja.
Kebanyakan para pendaki membawa alat seperlunya, botol minum untuk persediaan air minum meskipun nanti ada beberapa warung di sekitar area puncak. Cemilan untuk di perjalanan juga tak luput untuk sekedar isi perut saat lapar. Saya biasanya membawa buah untuk cemilan atau coklat mengingat efek hangat yang dihasilkan dari coklat (soal ini mungkin sugesti masing-masing ya).
Jalur Pendakian yang Relatif Bersahaja
Alur pendakian bisa dibilang sangat bersahaja. Sepanjang jalan kita akan dihibur lampu-lampu senter para pendaki yang mengular sepanjang pendakian. Jalur yang cukup mudah dilalui ini karena cukup banyak petunjuk arah menuju puncak.
Mayoritas para pendaki adalah wisatawan asing yang notabene adalah penikmat alam karena selain laut para bule juga suka akan pemandangan dari puncak atas gunung batur.
Jika cuaca cerah maka akan terlihat gugusan bintang yang bertaburan diselingi gugusan awan di beberapa sudut langit.
Saya sendiri sempat khawatir akan cuaca pada saat pendakian ini. Mengingat satu hari sebelum pendakian Bali diguyur hujan di beberapa tempat, termasuk daerah Kintamani yang saat itu curah hujannya lumayan tinggi. Dingin? Sudah pasti karena dataran Kintamani merupakan dataran tinggi.
Sekitar pukul 23.00 sebelum pendakian saya belum tertidur, sejenak menengok langit memastikan keadaan cuaca malam itu. Langit mendung tertutup awan dan gerimis menetes, ah bukan saya kalau cuma surut sama gerimis. Saya mengecek peralatan dokumentasi, menilik kondisi baterai dan memastikan semua full untuk tempur esok hari.
Menikmati Pesona Gunung Batur Bali
Kondisi malam yang lumayan dingin di penginapan membuat saya selalu terjaga untuk sekedar buang air kecil atau mematikan siaran tv. Untung ada selimut dan guling yang setidaknya menghangatkan situasi …hahaha. Pukul 02.00 dini hari saya kembali terbangun, penasaran saya memastikan lagi cuaca saat itu. Saya keluar kamar dan mengintip langit sambil berharap cuaca mendukung untuk pendakian pagi itu.
Luar biasa adanya, saya melihat langit yang bersih dari awan mendung dan banyak gugusan bintang yang bertaburan. Ini yang saya suka dari suatu perjalanan, bahwa seburuk apapun usahakan pasrah. Karena dalam situasi apapun pasti ada jalannya. Jadi jas hujan yang sudah saya siapkan semestinya urung untuk saya kenakan nanti.
Baca Juga: Kenapa Ke Bali?
Hasrat pendakian sudah tak terbendung layaknya rindu… halah. Pukul 03.30 dini hari saya beranjak dan bersiap menuju basecamp pendakian. Memastikan semua peralatan terbawa dan saya langsung menuju ke basecamp. Saya meminimalisasi untuk membawa yang berat-berat. Kamera sudah pasti tak luput dari tas saya.
Satu hal yang selalu saya khawatirkan ketika pagi hari, yaitu panggilan alam alias pup. Hahahah … saya tak mau repot cari inspirasi di rimbun hutan kaki gunung batur saat gelap. Sudah aman sepertinya sayapun mendaftar di posko pendakian.
Biaya retribusi dikenakan sebesar Rp.10,000,- dan Rp. 5,000,- untuk keperluan MCK di area posko. Bagi yang memakai jasa pemandu akan dikenakan tarif Rp. 60,000,- per orang untuk menemani sampai ke puncak. Kali ini saya memilih independent dan berbaur dengan para pendaki lain.
Di beberapa titik akan terdapat warung untuk singgah sekedar minum atau ngopi. Ah sensasi ngopi di atas gunung seperti pernah saya alami di warung kopi di puncak gunung Lawu.
Baca Juga : pendakian gunung Lawu
Gunung Batur memang menawarkan pemandangan yang luarbiasa indah. Semburat sinar matahari yang muncul dari ujung timur sungguh membuat saya sejenak tertegun. Kilatan cahaya foto yang tak hentinya tak membuat saya ter-distract.
Pagi itu saya seperti berada di tiga puncak sekaligus. Di arah timur laut nampak menjulang puncak Gunung Agung yang megah berhias gugusan awan yang indah. Pun nampak pucuk atap Gunung Rinjani dari kejauhan.
Kaldera yang luas seakan memberikan banyak pilihan spot menikmati puncak gunung Batur. Saya mencoba mengamati sekeliling, para pengagum sunrise ini nampaknya sangat bahagia. Ada yang hanya diam sembari menghela nafas dari sisa pertarungannya akan ketinggian. Sebagian sibuk mengabadikan moment dengan background matahari terbit yang semburatnya indah.
Ada yang duduk dengan segelas kopi di tangan, seteguk kebahagiaan dari kopi yang mereka minum. Saya? Saya senang bukan main. As simple as that..
Memang pesona Gunung Batur Bali ini tidak bisa dilewatkan.
Bekal perjalanan sudah saya habiskan, lumayan mengurangi beban saat menuruni gunung nanti. Beberapa moment sudah saya abadikan, termasuk mencoba mengambil video dari Puncak Batur. Saya mengambil rute memutar dari jalur saya naik.
Agak sedikit curam dengan medan yang berupa pasir. Nampaknya safety tool memang gak boleh dihiraukan, sepatu yang saya pakai memudahkan saya menuruni medan berpasir tersebut. Kebayang dong seandainya saya hanya memakai sandal jepit.
Bonus di Akhir Pendakian
Proses turun nampaknya lebih memakna waktu yang relatif lebih cepat dibanding saat mendaki naik. Bonus view sudah pasti karena kondisi terang benderang. Saya sejenak beristirahat dan mengisi perut ala kadarnya dengan menu andalan mie rebus. Lumayan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya.
Selepas pendakian yang menguras tenaga dan keringat saya pun lantas menuju ke tempat pemandian air panas di kaki Gunung Batur. Toya Devasya namanya, berkendara sekitar 15 menit dari basecamp dan sampailah di lokasi. Sebut saja bonus dari pendakian, melihat lokasinya yang berada di tepi Danau Batur serta berlisensi sebagai natural hot spring water.
Lho mendaki Batur ini boleh independen ya? Aku dengar-dengar kok ‘wajib’ pakai guide gitu mas. Eh jangan-jangan aku salah simpan memori. Apa Gunung Agung ya yang wajib pakai guide itu?
Pengen juga sih kalau ke Bali sekali-kali ada agenda naik gunungnya 🙂
bisa independent kok, jalur yang gak terlalu panjang dan lumayan mudah rute nya. cuma kebanyakan turis asing pakai guide mas.
Bulenya bawa pulang satu mas buat oleh-oleh, hahaa idiotraveler
nanti dicari pakle kalo bule nya dibawa bawa dong ya…
hai Mas, rutenya makan waktu 2,5 jam ? apakah mendaki sekali , karena yang akan join rata” ibu ibu.. dan kalau yang belum pernah sama sekali hiking, apakah ini memungkinkan ?.. atau mungkin ada daerah yang dapat dicapai dengan mobil atau memang satu”nya cara itu hiking ?
boleh pencerahan jika kami berangkat pukul 3 dari Kuta, pastinya tidak keburu melihat sunrise ?
Please pencerahannya mas, terima kasih
rute pendakian dari basecamp menuju ke puncak gng batur itu sendiri normalnya 2-2,5 jam kalopun ditempuh perjalanan dari kuta menuju ke daerah Kintamani kurang lebih 3jam perjalanan dan pastinya butuh istirahat dll. saran saya sih lebih baik menginap di sekitar kintamani kalaupun memang mengejar moment sunrise.