Bunyi mesin mobil lambat laun mulai lirih, laju rodapun perlahan mulai melambat. Enam jam perjalanan dengan minibus dari Labuan Bajo dan akhirnya kami tiba di Dintor dimana kami akan melanjutkan lagi perjalanan dengan berjalan kaki. Pegal-pegal di badan kami selama perjalanan belum usai juga kini kedua kaki menjadi tumpuan kami melanjutkan perjalanan ke desa Waerebo.
Desa Denge adalah desa terakhir tempat kami singgah sebelum melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki. Godaan kali ini adalah para tukang ojek kawasan wisata yang menawarkan hantaran dengan kendaraan roda dua sampai ke pos pertama. Alih-alih menunggu pendamping perjalanan yang akan mengantar kami ke desa Waerebo kami menawar untuk biaya sekali hantaran ke pos pertama.
Berperawakan tinggi dan kurus dengan tas punggung yang ia sangkutkan di punggungnya, namanya adalah Bene. Usia Bene kiranya sudah tak muda lagi mengingat tercetus jikalau ia telah mempunyai dua orang cucu. Bene yang tinggal tak jauh dari Dintor dan masih dalam kawasan desa Denge memang menjadi langganan untuk mengantar tamu-tamu yang akan berkunjung ke Waerebo. Di usianya kini tak menjadikanya lambat dalam perjalanan naik melintas bukit-bukit menuju Waerebo.
Sesekali Bene menoleh ke belakang memastikan tamu melintas lebih dahulu. Rokok kretek tak hentinya mengepul menemani setiap jengkal perjalanannya diselingi obrolan ringan.
Kiranya di depan kami ada jajaran perbukitan yang harus dilalui, jalur menanjak yang sudah pasti ada dan mungkin sedikit bonus datarnya laluan jalan atau bahkan jalan menurun yang menguras dengkul penopang. Ah sudahlah, saya yakin apa yang akan kita lihat nanti pasti terbayarkan lelahnya jadi mari melangkah.
Endapan keringat mulai membasahi tubuh, sepuluh menit pertama adalah beban pemula dimana tanjakan sangat terasa. Seperti biasa saya memilih menjadi tim sapu alias yang paling belakang. Nafas kami terdengar seperti puasa senin-kamis tak karuan lajunya. Saya coba alihkan dengan senda gurau sembari berjalan dan mudah-mudahan sedikit mengurangi beban dengkul yang kian menggertak.
Lintasan jalan yang lumayan menguras tenaga meskipun kami belum sampai di pos pertama (anggap saja begitu). Boleh rehat ya sejenak di pos pertama ini, beberapa dari kami bahkan menyempatkan ibadah sholat untuk selanjutnya kami menempuh medan hutan dengan pohon-pohon besar dan rindang. Trek selanjutnya adalah jalan menanjak dengan laluan kanan-kiri hutan rindang. Perlahan dibumbui dengan saling melempar canda diantara kami rekan seperjalanan jalan menanjakpun terasa menanjak … hahaha it doesn’t change anything brohh! Ya namanya juga selingan setidaknya sedikit mengalihkan tumpuan berat pada kaki menjadi pegal di bagian mulut karena tawa.
Sebut saja Lina gadis semlohai yang menjadi penghibur kami sepanjang jalan, tawanya menggelitik kami untuk turut serta bergelagak riang. Sesekali menarik nafas panjang sambil berhenti pertanda kalau ia lelah lalu seperti saya duga beberapa kata keluar mencoba menghibur dirinya sendiri
“… ayo genks , bentar lagi nyampe tinggal lurus terus belok kanan lalu belok kiri .”
Begitu saja terus sampai sirih nenek kau kering lalu berganti permen karet rasa mint penyegar mulut di era terkini.
Memasuki gerbang waerebo
Pohon kopi di kanan dan kiri lintasan jalan setapak yang kami lalui menjadi penanda bahwa gerbang menuju area desa Waerebo sudah hampir tiba. Dan benar saja terlihat ibu Siska terhenti tepat sebelum jembatan bambu yang menjadi penanda bahwa kita memasuki wilayah desa Waerebo. Hening dan senyap udara seolah membisikan pada indera bahwa negeri dongeng diatas gunung memang benar adanya. Aroma kayu hutan berpadu dengan kopi sedikit melambatkan langkah kaki saya. Sekedar mengingatkan diri kalau realitas kadang seperti dongeng.
Bene bergegas membunyikan kentongan bambu di dipan di rimbunan pohon kopi dengan warna warni buahnya. Bunyi sebagai penanda bahwa kami tamu-tamu datang bertandang. Dari tempat kami menunggu terdengar riang suara anak-anak yang nampak sedang bermain menjelang penghujung sore hari. Sore itu kami sampai di negeri dongeng, negeri Mbaru Niang yang tertutup kabut tipis. Perlahan pucuk tiang Mbaru Niang nampak diikuti warna hitam daun lontar yang tersusun rapi hampir menyentuh tanah dari ujung atas berbentuk kerucut.
Masih terdiam di tengah area Mbaru Niang kami lekas menuju ke rumah Gendang, rumah sang ketua adat Mbaru Niang. Temaram cahaya menyiratkan siluet tajam sosok pak Alex sang ketua adat. Prosesi penyambutan sederhana kami dimulai dengan seluk beluk nenek moyang serta beberapa peraturan yang musti kami patuhi selama di area Mbaru Niang.
Malam dan suguhan di Waerebo
Satu teko berisi kopi panas dan satu lagi teko berisi teh hangat tersaji di bilik lain tempat kami beristirahat. Tampak dengan senyumannya mama menghampiri kami yang malu-malu hendak menuang kopi ke cangkir.
“ tuang saja kopi hasil panen kami ini, lebih nikmat tanpa gula .. semoga sesuai selera … “
sayapun tak hafal nama mama yang menawarkan minum tadi, begitu saya tengok sudah berganti rupa saja dan memang ada banyak mama yang berada di dapur belakang tempat kami menginap. Hari ini sampai kami pulang esok merekalah yang akan menjamu kami hingga menjual hasil kerajinan buah tangan mereka.
Kami bergegas untuk merebahkan diri dalam masing-masing kasur. Selimut dan bantal lengkap tersedia dan lirih suara Bene berkumandang kalau pukul sepuluh malam nanti lampu listrik padam serentak. Rasa lelah tak menjadikan kami terlelap lebih awal, beberapa masih bercerita tentang perjalanan hari ini, saya menunggu kabut pembawa gerimis sedikit bergeser. Kurang beruntung mungkin karena gerimis makin besar dan lelah tak membiarkan saya terlalu lama terjaga.
Disela menuju pagi saya terjaga karena perut yang mulai bergolak. Seperti biasa ada sesuatu yang harus rela untuk dilepas untuk bisa diisi kembali.
Pagi itu kami menapaki jalan setapak menuju area atas pemukiman untuk melihat susunan ketujuh Mbaru Niang nan megah. Mbaru niang tergolong situs cagar budaya, kayu worok dan bambu tanpa ada paku hanya memakai rotan sebagai pengikat dengan lima tingkatan atau lantai dalam tiap bangunan. Dari Tulur yang paling bawah hingga Hekang kode yang menjadi tingkatan paling atas untuk menyimpan sesaji kepada leluhur.
Pagi itu nenek Katrina menebar senyumnya sembari memandangi kami yang duduk dekat pintu tempat ia keluar menuju halaman. Biji kopi dituang di halaman depan Mbaru Niang untuk dijemur sambil dibolak balik secara manual. Nenek dengan sweater bergambar ayam yang lucu sambil memamah sirih yang sesekali meludahkan liur sirihnya sembari tak henti bercerita. Saya dibuat seolah tahu bahasanya yang kadang mengangguk tanda mengerti atau sekedar kagum. Di depan bilik tamu melenggang seorang gadis kecil yang malu-malu melihat kami sedang bercengkrama dengan nenek katrina. Herli tak ubahnya nama yang elok seperti parasnya yang cantik, mata yang menawan dan rambut kecoklatan tertimpa sinar pagi itu. Kami membalas senyum mungilnya dan kembali ke peraduan nenek katrina dengan sirih masih menghiasi pinggiran bibirnya.
Semua berkumpul, rasanya baru saja menjadi bagian keluarga dari kampung Waerebo. Rasanya kami masih mau berebut sambal mama yang tersaji dan ludes oleh kami yang kesetanan seperti kaum Barbar. Rasanya masih terasa nyaman selimut malam itu menutupi tubuh lelah kami hingga pagi merangsak masuk ke bilik kami. Rasanya kami masih belum mau berpisah untuk kemudian tidak tahu kapan akan kembali lagi.
Pagi itu lagu syahdu suara Bapa’ Alex menjadikan langkah kami seperti sangat berat meninggalkan negeri Mbaru Niang. Bait demi bait ia nyanyikan dengan merdu, hening seketika sekeliling kami. Dibalik gelap kaca mata hitam saya tersembul airmata wujud keengganan saya pergi. Entahlah jiwa mendadak menjadi melankolis tak ubahnya sang pengelana yang rindu akan rumah.
Konon mereka yang datang berkunjung adalah keluarga, dengan begitu pula mereka menyambut sang keluarga lalu melepaskannya pergi dengan nyanyian menyentuh hati dari sang ketua, sang kepala adat Waerebo.
Waerebo adalah lukisan surealis yang terlukis hampir nyata. Irama hidup yang syahdu, tatanan lingkungan yang harmonis seolah menghipnotis setiap sudut arah memandang.
MOHE WAEREBO . . . .
credit photo by palty silalahi, yudhi Kurniawan, dan saya sendiri
Keren!! Jadi teringat kembali dengan suasana disana & tahapan2 yg harus dilalui hingga tiba di kawasan rumah kerucut.
momen rebutan sambel kayaknya yang paling ajib ya kak san… hahahaha dan kebayang gempornya plus lintah yang nempel juga ..
Penggambaran yang sangat sempurna untuk keindahan Waerebo. Jadi pingin nyoba kopi aslinya juga langsung di tempatnya. Hehe
Salam kenal mas
kadang pengalaman kita ke suatu tempat belum tentu sama, tapi setidaknya dari yang saya gambarkan itulah yang saya rasakan dan memang sampai sekarang kenikmatan secangkir kopi yang terhidang disana layak untuk dicoba pun juga keramahan warga disana … salam knal juga mas makasih sudah mampir
Kisahnya seru, foto-fotonya apik, tone-nya asyik 🙂
*lalu jadi penasaran dengan nyanyian bapak Alex*
nanti akan di update tentang nyanyiannya pak Alex yang syahdu… wah long story short harus denger langsung sih mas. wah ini telat banget ya balesnya …
fotonya oke, khas kamu bangat dech mas…
jadi menyesal nga ikut trip ini bareng kalian, hikksss…